Select Menu

sponsor

sponsor

dd

Random Posts

Powered by Blogger.

Design

Technology

Circle Gallery

Shooting

Racing

News

loading...
» » Minal 'Aidin Wal Faizin Ucapan Lebaran Khas Orang Indonesia

Dagelan - Dari jaman saya sekolah, sampai hari ini, ucapan “Minal aidin wal faizin” adalah ucapan yang khas untuk lebaran. Saya kira bukan hanya di Jawa Tengah, tempat saya dulu sekolah sampai kelas 1 SMA, tetapi juga di seluruh Indonesia, karena kalau kami (saya dan keluarga) berkirim atau menerima kertu lebaran, selain ada gambar-gambar masjid, ketupat dan/atau orang-orang bersalaman, ada kaligrafi dalam huruf latin yang bunyinya “Minal aidin wal faizin”.

Saya tidak tahu arti yang sebenarnya, dari kata-kata yang konon adalah bahasa Arab itu. Meskipun demikian, menurut para ustadz yang lebih tahu, arti kata-kata itu jika dirangkai dengan kalimat asli selengkapnya bermakna doa semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang beruntung. Tetapi kata-kata itu, dalam tradisi Indonesia, selalu bersambung dengan sebuah kalimat lain sehingga membentuk pantun sebagai berikut, “Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin”. Karena itu saya selalu mengartikan kalimat “Minal aidin wal faizin”, sebagai mohon maaf lahir batin. Namanya juga lebaran, yaitu hari bermaaf-maafan.

Tetapi beberapa belas atau puluh tahun yang terakhir ini, secara perlahan namun pasti kata-kata “Minal aidin wal faizin” digeser oleh kalimat Arab yang lain, yang konon asli diajarkan oleh Rasulluloh, yaitu “Taqabbalallahu minna waminkum“, yang artinya “Semoga Allah menerima amalan aku dan kamu“, jadi juga tidak berarti saling memaafkan. Dan memang benar, di Arab sana, Idul Fitri memang tidak ada kaitannya dengan hari saling memaafkan. Bahkan mungkin dalam budaya Arab (bukan dalam agama Islam, loh), tidak ada kebiasaan saling memaafkan sama sekali. Karena itulah Timur Tengah tidak pernah lepas dari konflik dan perang.

Lain dengan Indonesia, yang masyarakatnya pada dasarnya memang pemaaf, sehingga bangsa Indonesia yang sangat multi etnik, multi bahasa dan multi agama bisa hidup rukun, sementara di Arab yang monoetnik dan mono bahasa, walaupun berbeda-beda negara, tidak ada saling memaafkan untuk mengantarkan mereka ke pada situasi perdamaian.
***
Tulisan saya kali ini tidak hendak membahas perbedaan makna antara “minal aidin” dan “taqabbalallahu minna “. Saya justru ingin membahas tradisi Lebaran (mungkin dari kata “lebur”, yaitu meleburkan kesalahan masa lalu) itu sendiri yang intinya adalah saling bermaafan.

Memaafkan, memberi atau meminta maaf, sering dianggap barang gampang. Pokoknya mau duduk bersama, saling mengakui kesalahan, ihlas dan islah, maka selesai. Padahal kenyataannya jauh dari itu. Konflik sektarian di Ambon dan Maluku, akhirnya selesai setelah empat tahun dan ribuan korban berjatuhan dari pihak Islam maupun Kristen, Tetapi di Kalimantan Barat, sampai hari ini (sudah lima belas tahun), orang Madura belum berani masuk ke bekas kampung dan kebun mereka di wilayah Dayak atau Melayu, karena sudah banyak yang coba-coba dan pulang hanya nama.

Pada tingkat antar individu ada isteri-isteri yang tidak mau memaafkan suaminya yang selingkuh, walaupun suami sudah mengakui kesalahan dan berkali-kali minta maaf. Kata sang isteri setiap kali melihat wajah suaminya, ia terbayang wajah selingkuhan suaminya sehingga ia merasa muak. Bahkan sang isteri selalu menghindari mal tempat ia memergoki suaminya sedang berduaan dengan selingkuhannya, karena setiap kali liwat mal itu, dia juga muak, bahkan mau muntah. Padahal mal itu salah apa?

Sebaliknya pelaku-pelaku kerusuhan Tanjung Priok tahun 1984, baik pihak tookoh dan umat Islam setempat maupun para mantan pimpinan tentara pada waktu itu, bisa islah dan menuntaskan konflik dengan damai, walaupun prosesnya bertahun-tahun lamanya. Demikian juga putera-puteri Pahlawan Revolusi dan anak-anak tokoh yang pernah dianggap sebagai pelaku G-30-S PKI tahun 1965, sekarang punya forum komunikasi tempat mereka saling berbagi perasaan dan pikiran.

Dan jangan lupa, tokoh yang paling fenomenal dalam soal maaf-memeaafkan ini adalah almarum Nelson Mandella, yang selama 25 tahun dipenjara dan disiksa oleh penguasa-penguasa negara Afrika Selatan yang rasis itu, tetapi justru mengundang Kepala Penjara (kulit putih) yang dulu menyiksanya, untuk hadir di upacara pelantikannya sebagai presiden dan mengumumkan kepada khalayak bahwa ia sudah memaafkan sang sipir penjara (padahal hari itu bukan hari Lebaran) dan sejak itu, diskriminasi di Afrika Selatan lenyap seketika.
***
Jadi saling memaafkan adalah psikologis. Dia tidak bisa diselesaikan pada tingkat rasio seperti membuat Tim Pencari Fakta (setiap temuan fakta bisa diingkari lagi oleh salah satu pihak), atau menandatangani prasasti perdamaian, atau tanda tangan kontrak damai dan sebagainya. Di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat, misalnya, masih berdiri tegak tugu perdamaian antara suku Dayak dan Madura, tetapi permusuhan terus saja berlangsung.

Sebaliknya, kalau hati sedang senang dan pikiran sedang positif, maka lebih mudah seseorang memberi maaf, atau minta maaf. Fakta-fakta bukannya dilupakan, karena memang sulit melupakan peristiwa traumatis, tetapi pemaafan tetap terjadi. Forgive although not forget. Nah, di sinilah hebatnya orang Indonesia. Idul Fitri yang aslinya hanya penutup ibadah puasa, karena itu juga ditutup dengan doa mohon Rahmat puasa, dijadikan lebaran yang penuh suasana bermaafan. Maka tidak ada lagi gengsi-gengsian (yang biasanya menjadi kendala utama pemaafan), karena semua orang saling bermaafan. Orang-orang yang paling heboh saling bermusuhannya pun bisa dengan entemg saling memaafkan, karena semua orang memang saling memaafkan.

Karena itu, menghilangkan minal aidin wal faizin dalam artian saling maaf lahir batin dan mengembalikannya ke ajaran Islam murni tanpa tradisi permaafan, sebenarnya merugikan syiar Islam itu sendiri, karena Islam mengamanatkan perdamaian dan kedamaian, rahmatan lil alamin, yang tentu saja intinya adalah saling memaafkan.

Kembali ke masalah “Minal aidin wal faizin”, di Indonesia ada pula kebiasaan yang sangat khas, yang tidak terdapat di bangsa-bangsa lain, termasuk di Malaysia atau Brunei Darussalam yang agama dan kebudayaannya sangat mirip dengan Indonesia, yaitu tradisi Halal bi halal. Istilah ini kedengarannya seperti istilah Arab, tetapi sesungguhnya tidak ada kaitannya sama sekali dengan bahasa Arab. Istilah ini hanya berarti kebiasaan berkumpul secara formal (misalnya di kantor), maupun secara semi formal (misalnya di perkumpulan arisan atau RT/RW), di tempat dan waktu yang sudah ditentukan, di mana para anggota, karyawan atau warga yang biasanya sudah saling mengenal saling ber-Minal aidin wal faizin-an satu sama lain.



Suasana dalam acara halal bi halal biasanya dibuat gembira, sebentar pembacaan kalam ilahi, sedikit pidato ketua panitia, dan Bapak Direktur atau Bapak Lurah, selebihnya adalah bersalaman, banyak makanan, banyak tertawa-tawa, ngobrol gosip, dan terkadang ada hiburan, tari-tarian, atau organ tunggal dan hadirin bisa menyumbangkan suara, yaitu menyanyi dengan suara sumbang masing-masing. Dalam suasana yang gembira itu, orang akan lebih mudah memaafkan dari pada kalau saling memaafkan itu diselenggarakan di meja perundingan, dialog, diskusi, atau yang oleh para politisi dan pakar (termasuk yang pandai kelakar) sering diistilahkan dengan “duduk bersama”.

Sekali lagi, tataran pemaafan, walaupun diucapkan dengan lisan atau ditulis dalam dokumen atau dibuat patung, yang penting datangnya harus dari perasaan, emosi. Sebagai peneliti dalam masalah deradikalisasi, saya sendiri pernah mengislahkan para mantan pelaku teror bom dan para korban bom dalam satu pertemuan di mana kedua pihak sama-sama menempatkan diri sebagai korban, bukan sebagai pelaku dan korban

***
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa makna pemaafan dalam tradisi minal aidin wal faizin akhir-akhir ini bukan saja tergerus oleh pemurnian praktik beragama Islam melalui upaya kembali syariah dan fikih dengan mengabaikan budaya dan kearifan lokal, tetapi juga oleh kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih, yang menghilangkan makna hubungan pribadi, khususnya silaturahmi antar individu yang terkandung dalan tradisi minal aidin wal faizin tersebut.
Kemajuan teknologi informasi yang saya maksud adalah milis, face book, twitter, whatsapp group, SMS, instagram, line, dan sebagainya. Fitur-fitur dunia maya seperti itu memungkinkan orang mengirim pesan minal aidin wal faizin secara massal, bahkan kepada orang-orang yang tidak dikenal sama sekali (dalam milis atau WA Grup misalnya, tidak semua anggota saling kenal, dan tidak semua muslim), dan dengan teknik copy paste yang memungkinkan orang menyalin (plagiat) begitu saja pesan selamat Idul Fitri (kadang tanpa melihat dengan cermat isinya terlebih dahulu), lengkap dengan huruf Arab, baik huruf biasa atau kaligrafi (disangka dengan mencantumkan huruf Arab jadi lebih afdol) dan ilustrasi gambar-gambarnya.

Memang teknologi dunia maya ini secara luar biasa sekali telah memudahkan umat untuk saling bersilaturahmi dan bermaafan, khususnya buat mereka yang tidak sempat mudik, atau yang ingin bermaafan dengan keluarga, kerabat dan/atau kenalan yang jauh, di luar pulau, atau bahkan di luar negeri. Tetapi kalau pesan itu dibuat massal, sehingga si pengirim tidak tahu betul apa isi pesannya (karena hanya menjiplak) dan tidak tahu kepada siapa pesan itu dikirim, maka makna minal aidin wal faizin dari Idul Fitri itu pun cepat atau lambat akan sirna dengan sendirinya,
***
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat bagi semua, khususnya untuk diri saya sendiri.

Akhirul kalam dalam kesempatan ini saya dan keluarga mohon maaf lahir batin atas kesalahan baik yang berupa ucapan atau tindakan yang selama ini mungkin kurang berkenan di hati teman-teman dan para sesepuh sekalian.

Sumber: Sarlito Wirawan Sarwono

About Dagelan

Dagelan Family bukan kumpulan orang-orang yang terlalu serius, tapi bukan berarti berisi orang-orang yang main-main menatap hidup.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Leave a Reply